Mensyukuri Nikmat Walau Sekecil Apapun

Kita bersyukur setelah mendapat kenikmatan yang besar. Sesuatu kenikmatan yang kecil adalah jamak, tak perlu disyukuri. Tapi bagi seseorang, itu adalah hal yang besar. Jadi kenapa kita tak bersyukur?
Suatu ketika di sebuah kelas sekolah menengah tampak kegiatan belajar mengajar. Seorang guru dengan buku di tangan, tampak menjelaskan sesuatu kepada murid-muridnya. Semua menyimak dengan tekun. Tiba-tiba sang guru berhenti menjelaskan. Setelah menghela napas, sebuah pertanyaan keluar mulutnya.
“Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuat kalian bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?” tanyanya.
Murid-murid tampak saling pandang.
Terdengar suara lagi dari guru, “Ya, ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu..” Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan guru itu menunjuk pada seorang murid. “Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-temanmu!”
Setelah tertegun sejenak, terlontar sebuah cerita dari sang murid. “Seminggu yang lalu, adalah masa yang sangat besar buatku. Orangtuaku, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang aku impikan selama ini”. Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. “Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaanku saat itu!”
Sang guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka, terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.
“Ibu Guru..Bu, aku belum bercerita”.
Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.
“Maaf, silahkan. Ayo berbagi dengan kami semua”, ujar Ibu Guru kepada murid berambut lurus itu. “Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?”, Ibu Guru mengulang pertanyaannya kembali.
“Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah.. saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang lalu”.
Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu.
Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, “Ha? Aku sudah sejak lahir menemukan nama keluargaku di buku telpon. Buku Telpon? Betapa menyedihkan.. Hahaha”.
Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, “Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?”
Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan. Ibu Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan.
“Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak..”
Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. “Ya, memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa dikejar polisi”.
Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan.
“Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada bank dan yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku. Dan kini, Ayah berhasil. Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi”.
“Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Itu juga berarti aku tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya”.
Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. “Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang aku dapatkan nanti..”
Kelas terdiam. Ibu Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan.
Mereka juga belajar satu hal:
“Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun.. sebesar apapun..” (TSA/20/5/2009 subuh) (Author:MYusuf)

Kebahagiaan Adalah Sebuah Pilihan

Pada suatu zaman di Tiongkok, hiduplah seorang jenderal besar yang selalu menang dalam setiap pertempuran. Karena itulah, ia dijuluki “Sang Jenderal Penakluk” oleh rakyat.
Suatu ketika, dalam sebuah pertempuran, ia dan pasukannya terdesak oleh pasukan lawan yang berkali lipat lebih banyak. Mereka melarikan diri, namun terdesak sampai ke pinggir jurang. Pada saat itu para prajurit Sang Jenderal menjadi putus asa dan ingin menyerah kepada musuh saja.
Sang Jenderal segera mengambil inisiatif, “Wahai seluruh pasukan, menang-kalah sudah ditakdirkan oleh dewa-dewa. Kita akan menanyakan kepada para dewa, apakah hari ini kita harus kalah atau akan menang.” Saya akan melakukan tos dengan keping keberuntungan ini! Jika sisi gambar yang muncul, kita akan menang. Jika sisi angka yang muncul, kita akan kalah! Biarlah dewa-dewa yang menentukan!” seru Sang Jenderal sambil melemparkan kepingnya untuk tos…
Ternyata sisi gambar yang muncul! Keadaan itu disambut histeris oleh pasukan Sang Jenderal, “Hahaha… dewa-dewa di pihak kita! Kita sudah pasti menang!!!” Dengan semangat membara, bagaikan kesetanan mereka berbalik menggempur balik pasukan lawan. Akhirnya, mereka benar-benar berhasil menunggang-langgangkan lawan yang berlipat-lipat banyaknya.
Pada senja pasca-kemenangan, seorang prajurit berkata kepada Sang Jenderal, “Kemenangan kita telah ditentukan dari langit, dewa-dewa begitu baik terhadap kita.” Sang Jenderal menukas, “Apa iya sih?” sembari melemparkan keping keberuntungannya kepada prajurit itu. Si prajurit memeriksa kedua sisi keping itu, dan dia hanya bisa melongo ketika mendapati bahwa ternyata kedua sisinya adalah gambar…
Memang dalam hidup ini ada banyak hal eksternal yang tidak bisa kita ubah; banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan kehendak kita. Namun demikian, pada dasarnya dan pada akhirnya, kita tetap bisa mengubah pikiran atau sisi internal kita sendiri: untuk menjadi bahagia atau menjadi tidak berbahagia.
Jika bahagia atau tidak bahagia diidentikkan dengan nasib baik atau nasib buruk, jadi sebenarnya nasib kita tidaklah ditentukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh diri kita sendiri. Ujung-ujungnya, kebahagiaan adalah sebuah pilihan proaktif.
“The most proactive thing we can do is to ‘be happy’,” begitu kata Stephen R. Covey dalam buku 7 Habits-nya. (Author : Myusuf)

Sukses Meraih Mimpi Karena Ketekunan dan Kesabaran

Sebuah janji biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk ditepati. Demikian pula halnya dengan impian. Tak hanya perlu perjuangan untuk mewujudkan, tapi juga ketekunan dan kesabaran.
Pada awal tahun 1950-an di sebuah kota kecil di California Selatan, seorang gadis kecil membawa setumpuk buku ke sebuah counter perpustakaan yang kecil.
Gadis itu adalah seorang pembaca. Kedua orang tuanya mempunyai begitu banyak buku di rumah mereka, tetapi tidak selalu merupakan buku-buku yang dia inginkan. Jadi setiap minggu dia pergi ke gedung perpustakaan yang bercat kuning dan coklat di pinggirnya, sebuah bangunan kecil dengan satu ruangan dimana perpustakaan anak-anak sebenarnya hanya merupakan satu sudut. Setiap kali, dia keluar dari ruangan itu untuk mencari bacaan yang sulit.
Sewaktu petugas perpustakaan yang sudah beruban itu menuliskan tanggal kembali buku-buku yang dipinjam, gadis kecil itu melihat dengan keinginan yang sangat besar pada “The New Book” yang dengan jelas dipajang di counter itu. Sekali lagi dia mengagumi kehebatan penulis yang menulis sebuah buku dan memperoleh penghargaan seperti itu, dan menjadi terkenal.
Pada hari itu, dia mengatakan apa yang menjadi cita-citanya. “Bila saya sudah dewasa,” katanya, “saya akan menjadi penulis. Saya akan menulis banyak buku.”
Petugas perpustakaan itu berhenti menulis dan mendongak lalu tersenyum, tidak dengan sikap merendahkan yang begitu banyak diterima oleh anak-anak, tetapi dengan dorongan semangat.
“Bila kau sudah menulis buku itu,” begitu katanya, “bawalah ke perpustakaan kami dan kami akan memajangnya tepat disini, di counter ini.”
Gadis kecil itu berjanji bahwa dia akan melakukannya.
Seiring dengan pertumbuhannya, impiannyapun terus berkembang. Dia memperoleh pekerjaan pertamanya ketika dia duduk di kelas sembilan, yakni menulis profil kepribadian secara singkat, yang memberikan honor sebesar $1.50 untuk tiap tulisan dari sebuah koran lokal. Uang itu tidak ada artinya dibanding dengan keajaiban melihat tulisan-tulisannya di surat kabar.
Menulis sebuah buku rasanya masih sangat jauh. Dia menjadi editor pada koran sekolahnya, menikah dan memulai membangun keluarga, tetapi keinginan untuk menulis tetap berkobar-kobar dalam hatinya. Dia memperoleh pekerjaan meliput berita-berita sekolah di sebuah surat kabar mingguan. Hal itu membuat pikirannya tetap aktif, sementara dia mengurus anak-anaknya.
Tetapi belum juga ada buku yang ditulisnya. Dia bekerja secara penuh di sebuah harian yang besar. Bahkan mencoba menulis di berbagai majalah.
Tetap belum ada buku. Akhirnya, dia yakin bahwa dia harus mempunyai sesuatu yang harus dikatakan dan mulai menulis sebuah buku. Dia mengirimkannya ke dua penerbit dan ditolak. Dia menyimpan keduanya dengan sedih. Beberapa tahun kemudian, impian lama itu semakin membara. Dia memperoleh sebuah agen dan menulis sebuah buku lagi. Dia mengeluarkan buku yang satunya lagi dari penyimpanannya, dan segera keduanya terjual.
Tetapi dunia penerbitan buku bergerak lebih lambat daripada dunia persuratkabaran, dan dia menunggu selama dua tahun. Pada suatu hari sebuah kotak tiba di depan pintunya. Kotak itu berisi edisi gratis untuk pengarangnya. Diapun segera membukanya. Lalu dia menangis. Dia telah menunggu begitu lama untuk merengkuh impiannya dalam kedua tangannya.
Lalu dia teringat undangan petugas perpustakaan itu, dan juga janjinya. Tentu saja, petugas perpustakaan itu telah meninggal bertahun-tahun yang lalu, dan perpustakaan kecil itu telah diratakan dengan tanah untuk membangun gedung perpustakaan yang lebih besar.
Wanita itu menelepon dan memperoleh nama kepala perpustakaan. Dia menulis surat kepadanya, mengatakan betapa besar arti kata-kata pendahulunya dulu bagi gadis kecil itu. Dia akan berada di kota untuk menghadiri reuni sekolah menengahnya yang ke-30, begitu dia menulis dan bisakah dia membawa kedua bukunya dan memberikannya kepada perpustakaan ? Itu akan sangat besar artinya bagi gadis kecil berumur 10 tahun itu, dan nampaknya merupakan cara untuk menghormati semua petugas perpustakaan yang pernah memberikan dorongan kepada seorang anak.
Petugas perpustakaan itu menelepon dan berkata,”Datanglah.” Maka diapun datang, membawa satu kopi untuk masing-masing buku.
Dia mendapati perpustakaan baru yang besar tepat di seberang jalan dari sekolah menengahnya dulu; persis di depan ruangan dimana dia berusaha mati-matian untuk memahami aljabar, memikirkan dengan sedih akan sebuah mata pelajaran yang tidak akan pernah dipakai oleh para penulis, dan hampir persis di atas rumahnya dulu, dibangun sebuah gedung untuk pusat kegiatan masyarakat dan perpustakaan yang ada sekarang ini.
Di dalam, petugas perpustakaan menyambutnya dengan hangat. Dia memperkenalkan seorang reporter dari sebuah harian lokal, sebuah surat kabar yang pernah dia minta untuk memberinya kesempatan menulis bertahun-tahun yang lalu.
Lalu dia memberikan bukunya kepada petugas perpustakaan itu, yang memajangnya di counter dengan sebuah tanda penjelasan. Air mata mengalir di pipi perempuan itu.
Kemudian dia memeluk petugas perpustakaan itu dan pulang, berhenti sebentar di luar untuk mengambil foto, yang membuktikan bahwa impian-impian bisa menjadi kenyataan dan janji-janji bisa ditepati. Meskipun itu membutuhkan waktu 38 tahunn.
Dalam benaknya dia melihat seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun dan seorang wanita dewasa yang sudah menjadi penulis berpose di dekat papan nama perpustakaan itu, tepat disamping papan pengumuman untuk pembaca yang berbunyi:
SELAMAT DATANG KEMBALI
JANN MITCHELL
~~~
Sumber: Disadur dari Chicken Soup for the Soul, terbitan Gramedia, 1997 (Author:Myusuf)

Pikirkan Saja Hari Ini

Ada 3 hari dalam hidup manusia, yang akan membayangi sejarah kehidupannya. Namun hanya 1 hari yang penting. Sayangnya mereka selalu mengkhawatirkan 1 hari yang lain dan terbebani 1 hari yang lain.
Yang pertama: hari kemarin.
Anda tak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi.
Anda tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan.
Anda tak mungkin lagi menghapus kesalahan
dan mengulangi kegembiraan yang anda rasakan kemarin.
Biarkan hari kemarin lewat.
Lepaskan saja…
Yang kedua: hari esok.
Hingga mentari esok hari terbit,
anda tak tahu apa yang akan terjadi.
Anda tak bisa melakukan apa-apa esok hari.
Anda tak mungkin sedih atau ceria di esok hari.
Esok hari belum tiba.
Biarkan saja…
Yang tersisa kini hanyalah hari ini.
Pintu masa lalu telah tertutup,
pintu masa depan pun belum tiba.
Pusatkan saja diri anda untuk hari ini.
Anda dapat mengerjakan lebih banyak hal hari ini
bila anda mampu memaafkan hari kemarin dan melepaskan ketakutan akan esok hari.
Hiduplah hari ini.
Karena, masa lalu dan masa depan hanyalah permainan pikiran yang rumit.
Hiduplah apa adanya.
Karena yang ada hanyalah hari ini, hari ini yang abadi.
Perlakukan setiap orang dengan kebaikan hati dan rasa hormat,
meski mereka berlaku buruk pada anda.
Cintailah seseorang sepenuh hati hari ini,
karena mungkin besok cerita sudah berganti.
Ingatlah bahwa anda menunjukkan penghargaan pada orang lain
bukan karena siapa mereka, tetapi karena siapakah diri anda sendiri
Jadi, jangan biarkan masa lalu mengekangmu atau masa depan membuatmu bingung,
lakukan yang terbaik HARI INI dan lakukan sekarang juga. (Author:Myusuf)

6 Pertanyaan Dari Sang Guru

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya. ..

Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan.. .

 
Pertama...

 "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini...???"

 Murid-muridnya ada yang menjawab... "orang tua", "guru", "teman", dan "kerabatnya"...

 
Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar...
Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "kematian"...
Sebab kematian adalah PASTI adanya.....

 

Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua...

"Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini...???"

 
Murid-muridnya ada yang menjawab...

"negara Cina", "bulan", "matahari", dan "bintang-bintang"...

 Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar...
Tapi yang paling benar adalah "masa lalu"... Siapa pun kita... bagaimana pun kita...dan betapa kayanya kita... tetap
kita TIDAK bisa kembali ke masa lalu.. Sebab itu kita harus menjaga hari ini... dan hari-hari yang akan datang..

 
 Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga...
 
"Apa yang paling besar di dunia ini...???"
 
Murid-muridnya ada yang menjawab
"gunung", "bumi", dan "matahari"...

 
Semua jawaban itu benar kata Sang Guru ...

Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu"...Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya...Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu...Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini... jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat)...

 
Pertanyaan keempat adalah...

"Apa yang paling berat di dunia ini...???"

 
Di antara muridnya ada yang menjawab... "baja", "besi", dan "gajah"...

 
"Semua jawaban hampir benar...", kata Sang Guru ..
tapi yang paling berat adalah "memegang amanah"...

 

Pertanyaan yang kelima adalah... "Apa yang paling ringan di dunia
ini...???"


Ada yang menjawab "kapas", "angin", "debu", dan "daun-daunan"..


"Semua itu benar...", kata Sang Guru...tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "meninggalkan ibadah"...

 
Lalu pertanyaan keenam adalah...

"Apakah yang paling tajam di dunia ini...???"

 
Murid-muridnya menjawab dengan serentak... "PEDANG...!!!"

 
"(hampir) Benar...", kata Sang Guru tetapi, yang paling tajam adalah "lidah manusia"...Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati... dan melukai perasaan saudaranya sendiri...

 
Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan KEMATIAN...

Senantiasa belajar dari MASA LALU...

Dan tidak memperturutkan NAFSU...???

Sudahkah kita mampu MENGEMBAN AMANAH sekecil apapun...

Dengan tidak MENINGGALKAN IBADAH....

Serta senantiasa MENJAGA LIDAH kita...???

Author : Unknow

Belajar Ikhlas


Suatu hari seorang bapak tua hendak menumpang bus.
Pada saat ia menginjakkan kakinya ke tangga,
salah satu sepatunya terlepas dan jatuh ke jalan.

Lalu pintu tertutup dan bus mulai bergerak dengan cepat, sehingga ia tidak mungkin ia bisa memungut sepatu yang terlepas tadi. Lalu si bapak tua itu dengan tenang melepas sepatunya yang sebelah dan melemparkannya keluar jendela.

Seorang pemuda yang duduk dalam bus melihat kejadian itu, dan bertanya kepada si bapak tua, "Aku memperhatikan apa yang Anda lakukan Pak. Mengapa Anda melempakan sepatu Anda yang sebelah juga ?" Si bapak tua menjawab, "Supaya siapapun yang menemukan sepatuku bisa
memanfaatkannya."

Si bapak tua dalam cerita di atas memahami filosofi dasar dalam hidup -
jangan mempertahankan sesuatu hanya karena kamu ingin memilikinya atau
karena kamu tidak ingin orang lain memilikinya.

Kita kehilangan banyak hal di sepanjang masa hidup. Kehilangan tersebut pada awalnya tampak seperti tidak adil dan merisaukan, tapi itu terjadi supaya ada perubahan positif yang terjadi
dalam hidup kita.

Kalimat di atas tidak dapat diartikan kita hanya boleh kehilangan hal-hal
jelek saja. Kadang, kita juga kehilangan hal baik. Ini semua dapat diartikan: supaya kita bisa menjadi dewasa secara emosional dan spiritual, pertukaran antara kehilangan sesuatu dan
mendapatkan sesuatu haruslah terjadi.

Seperti si bapak tua dalam cerita, kita harus belajar untuk melepaskan
sesuatu. Tuhan sudah menentukan bahwa memang itulah saatnya si bapak tua kehilangan sepatunya. Mungkin saja peristiwa itu terjadi supaya si bapak tua nantinya bisa
mendapatkan sepasang sepatu yang lebih baik.

" Satu sepatu hilang. Dan sepatu yang tinggal sebelah tidak akan banyak bernilai bagi si bapak. Tapi dengan melemparkannya ke luar jendela, sepatu gelandangan yang membutuhkan. "

Berkeras mempertahankannya tidak membuat kita atau dunia menjadi lebih baik.
Mungkin memang pedih pada awalnya... mungkin butuh bulan berbilang tahun untuk menyeka bening yang terkadang masih mengalir....

Namun kebahagiaan memang tak selamanya... dan kesedihan takkan mengembalikan apa yang telah berlalu...

Kita semua harus memutuskan kapan suatu hal atau seseorang masuk dalam
hidup kita, atau kapan saatnya kita lebih baik bersama yang lain.
Pada saatnya, kita harus mengumpulkan keberanian untuk melepaskannya.

" Semoga kita bisa menjadi orang yg ikhlas yang tetap masih bisa memberikan senyum terindah kita pada dunia".