Jika Ia Sebuah Cinta

  jika ia sebuah cinta.....

ia tidak mendengar...

namun senantiasa bergetar....

 

jika ia sebuah cinta.....

ia tidak buta...

namun senantiasa melihat dan merasa..

 

jika ia sebuah cinta.....

ia tidak menyiksa..

namun senantiasa menguji..

 

jika ia sebuah cinta.....

ia tidak memaksa..

namun senantiasa berusaha..

 

jika ia sebuah cinta.....

ia tidak cantik..

namun senantiasa menarik..

 

jika ia sebuah cinta.....

ia tidak datang dengan kata-kata..

namun senantiasa menghampiri dengan hati..

 

jika ia sebuah cinta.....

ia tidak terucap dengan kata..

namun senantiasa hadir dengan sinar mata..

 

jika ia sebuah cinta......

ia tidak hanya berjanji..

namun senantiasa mencoba memenangi..

 

jika ia sebuah cinta.....

ia mungkin tidak suci..

namun senantiasa tulus..

 

jika ia sebuah cinta......

ia tidak hadir karena permintaan..

namun hadir karena ketentuan...

 

jika ia sebuah cinta.....

ia tidak hadir dengan kekayaan dan kebendaan...

namun hadir karena pengorbanan dan kesetiaan.. (Author : Unknow)

1001 Jalan Mencari Cinta : Sabar Mencari Cinta Sejati

Dia menghitung dia hanya pacaran 4 kali. Hanya 1 yang dia merasa pacaran benar. Sedang 3, yang terakhir, entahlah… Dia merasa ada rasa keputus-asaan. Karena semua pacarnya adalah pria yang beristri.
Tiga hari ini gusi geraham Purnama Sari Cahya bengkak. Akibatnya dia tak bisa makan nikmat seperti biasanya. Paling dia makan atau tepatnya minum Energen. Asal memenuhi syarat untuk memasukkan sesuatu ke perut.
Ingin rasanya dia memeriksakan ke dokter gigi secepatnya. Namun pekerjaannya sebagai manager layanan pelanggan di sebuah perusahaan telekomunikasi tak bisa ditinggalkan. Apalagi ada 2 stafnya yang tak masuk mendadak. Akibatnya dia sementara menggantikannya. Bertugas sebagai operator. Sesuatu yang sudah lama tak dijalaninya.
Agak kagok juga awalnya. Namun karenanya tingginya keluhan yang masuk, dia tak punya jalan keluar yang cepat dan efektif selain dia dan supervisornya mengganti sebagai operator.
Akhirnya hari ini dia merasa mulai beres pekerjaannya. Besok dia sudah memastikannya stafnya datang. Selain itu pekerjaan laporan dan presentasinya sudah kelar. Setelah memastikan shift malam dan pagi beres, dia membereskan barangnya untuk segera pulang. Dia ingin ke dokter gigi.
Dia tak keluar lewat pintu depan, tapi lewat aula yang digunakan juga sebagai jumatan. Tembus ke utara menuju parkiran. Mobil berderet rapi. Dia memang selalu salut dengan satpam yang care mengatur kendaraan yang parkir.
Dimasukkan kunci ke pintu Peugeot 206 tahun 2005. Dan tak lama kemudian melesat keluar. Berzigzag mengarah ke jalan Panglima Sudirman. Sempat tertahan luberan pasar sayur. “Kapan pasar ini dipindah ya?” batinnya kesal setiap pulang. Bikin capek.
Untunglah mobil kecil ini lincah, kencang tapi pengendaliannya enak. “Pantas, lha mobil yang memenangkan 3 kali juara WRC,” pujinya. Meski begitu mobil ini cukup irit.
Sekarang dia terus melaju ke selatan. Setelah naik jembatan tol Wonokromo, sekarang mengarung jalan yang super macet di Surabaya. Sesampai di bundaran yang dibelah dengan jembatan tol, dia berbelok ke kanan. Terus sampai kemudian belok kiri di pertigaan yang ramai.
Setelah melewati perumahan yang cukup besar, dia sekarang melewati jalan yang diapit sawah. Dia nyalakan lampu sein ke kanan. Dia buka jendela dan sapa para satpam.
Maklum meski bukan perumahan mewah, perumahan ini termasuk one gate system. Satu-satunya akses ya lewat gerbang ini. Karena itu para satpam mengawasi dengan seksama siapa yang masuk. Dengan melambai dan menyapa, dia bebas dari pemeriksaan.
Sekarang dia masuk ke jalan kembar. Dia menimbang pulang dulu atau sekalian mampir ke dokter gigi. Dia putuskan langsung ke dokter gigi. Supaya dia bisa dapat antrian pertama.
Dia langsung membelokkan kemudinya ke kiri sebelum menyentuh jalan kembar. Terus di pertigaan dia belok kanan, namun dia langsung menepi di rumah yang pojok.
Sepi. “Yes, saya nomor 1,” teriaknya dalam hati. Dia lihat jamnya. Menunjukkan pukul 18.30. Masih setengah jam lagi. Dia duduk dan mulai mencari-cari bacaan di meja yang ada.
Ketika lagi mencari-cari bacaan yang tepat, datang sepasang suami istri. “Untunglah aku datang duluan. Kalau nggak, aku setelah mereka,” kata Sari dalam hati. Dia mulai membaca majalah wanita.
Senyap. Dia mulai asik membaca. Lama-lama dia menikmati semua artikel di majalah itu. Ada artikel tips menggaet pasangan. Ada tips sukses berkarir di kantor. Juga cerita sukses seseorang, gosip selebritis sampai mode dan resep makanan.
“Lho, di mana saja aku? Kok aku tidak mau membaca majalah seperti ini,” gumamnya heran. Dia ingat-ingat. Ya, mungkin saja aku tak punya waktu. Dan dia baru sadar, bahwa hari ini pulang lebih awal. Lebih dini malah. Biasanya dia pulang paling cepat sekitar pukul 21. Bahkan sering sampai tengah malam.
Dia menghela napas. Menyadari seperti kerja rodi. Dia tersenyum kecut. Dan senyumnya semakin kecut, kalau dia bayangkan hari libur kadang masih harus masuk. Nglembur. Bahkan hari libur hari raya, dia tetap masuk. Justru hari-hari itu pengguna telekomunikasi semakin meningkat.
Akibatnya lingkungan sosialnya semakin mengecil. Teman-teman yang dia punya, entah itu teman sekolah atau kenalan semakin habis. Mereka satu per satu menikah. Kalau dia hubungi mereka untuk hang out, mereka bilang tak bisa.
Sebaliknya dia tak menambah teman baru lagi. Akhirnya satu per satu temannya habis. Dari sekian teman itu semakin sedikit lagi teman pria. Tentu saja sedikit harapan para teman pria itu menjadi kekasih kemudian berlanjut ke tahap selanjutnya.
Akhirnya menginjak usia 34 tahun ini, dia masih single. Sudah habis dilewati adik-adiknya menikah. Dua adiknya cewek sudah menikah semua. Entah itu sudah berapa kali dia didesak menikah oleh orang tuanya. Bukannya menolak. Tapi memang tidak ada pasangan.
Dia menghitung selama dewasa ini dia hanya pacaran 4 kali. Hanya 1 yang dia merasa pacaran benar. Sedang 3, yang terakhir, entahlah.. Dia merasa ada rasa keputus-asaan. Karena semua pacarnya adalah pria yang beristri. (TSA, 18/6/2009 subuh)
~~~
Bersambung…
~~~
Kisah ini diangkat dari kejadian sebenarnya. Kisah ini bagian dari serial ‘1001 Jalan Mencari Cinta’. 100% tested. (Authot:Myusuf)

Belajar Cinta dari Film Drama (1)

Yang jadi masalah adalah saya tak tahu harus bagaimana mendekati wanita, khususnya kalau itu adalah wanita idaman saya. Saya tiba-tiba bisu mendadak. Dan ketika wanita itu pergi, penyesalan datang.
Tulisan ini didedikasikan untuk teman-teman IT yang selalu mencari solusi di internet
Agus Sasongko memaki-maki dalam hati, “Dasar orang Indonesia! Senangnya gratisan.” Dia melihat ke belakang, tampak antrian yang panjang. Dan di depannya juga antrian panjang. Rapat. Sampai spion dengan spion nempel.
Agus menyesal kenapa tidak lebih pagi tadi berangkatnya. Dia lihat jam tangannya masih menunjukkan pukul 6.15. “Masih subuh malah,” gumannya tersenyum. Dia mendongak ke atas. Matahari masih malu menampakkan dirinya.
Keengganan matahari dimanfaatkan embun turun menyapa manusia yang berjubel-jubel. Karenanya dua tower yang jadi landmark itu tampak samar-samar. Dia memicingkan mata ingin melihat kabel oranye yang menyangga jembatan. Tak kelihatan. Benar-benar kabut yang tebal.
Minggu pagi ini Agus memang berniat melihat jembatan yang konon terpanjang di Asia Tenggara. Jembatan yang menghubungkan antara pulau Jawa dan Madura. Sebuah sejarah telah tertoreh. Madura yang cukup padat penduduknya dengan 4 kabupaten akhirnya tersambung.
Dia matikan mesin Honda Kharismanya, “Kalau begini bensin habis sia-sia.” Dia mengayuh Hondanya maju dengan kakinya. Dia menghela napas, kapan sampainya. Padahal tol gate-nya saja masih jauh.
Dia toleh-toleh melihat sekitar, “Lebih baik saya nikmati saja kemacetan ini. Daripada memikirkan sampai kapan masuk jembatan Suramadu.” Tiba-tiba Kharismanya tersenggol ban GL Max. Dia toleh ke kanan, melihat siapa biangnya.
Tampak pasangan muda. Di depan yang mengemudi seorang laki. Memakai topi yang ditutupi dengan helm. Dia agak menoleh ke belakang bercakap dengan penumpang di belakangnya. Dia seorang cewek. Tangannya kirinya memegang helm. Tampak rambut hitamnya yang panjang.
Agus mengebel sambil tetap mengawasi mereka. Mereka tampak kaget. Si lakinya membelokkan bannya ke kanan, sehingga tak menyenggol lagi. Tangan si laki mengulur ke depan minta maaf. Agus membalas dengan uluran juga, “Tak apa.”
Meski begitu Agus tak mengacuhkan si laki. Dia terpesona dengan pandangan yang persis di sebelah kanannya. Cewek itu. Cantik sekali dengan rambut panjangnya. Meski terbungkus kaos putih dan diselimuti sweater hijau, badannya masih terlihat jelas. Montok.
Seperti tidak percaya melihatnya. Si cewek begitu cantik, tapi kenapa si laki tampak ‘hancur total’ begitu. “Kalau dibandingkan dengan si laki tersebut, dia masih mendingan,” batinnya. “Kalau nilai saya 7, dia paling 5. Itu pun jurinya kasihan menilainya,” sungutnya. Keduanya kembali berpelukan. Yang si cewek makin erat memeluknya. Kepala mereka hampir beradu. Dagu si cewek ditaruh di bahu si cowok.
“Kurang ajar. Pacaran di muka umum,” makinya. Namun sekarang dia sadar di sekelilingnya banyak pasangan muda yang berpelukan erat. Pacaran di muka umum, istilahnya Agus. Dia baru ingat, hari ini adalah hari Minggu.
Agus memaki-maki sekarang lebih kencang dalam hati. Kalau tadi mengutuk orang Surabaya yang maunya gratisan, sekarang mengutuk semua laki yang nasibnya mujur. Modal wajah pas-pasan tapi mendapat keuntungan cewek yang cantik.
“Lebih baik saya pulang saja,” Agus kesal. Tapi tak mungkin dia balik kanan. Dia harus mengikuti arus maju ke jembatan.
Dia menerawang memikirkan nasibnya. Wajahnya tidak jelek, meski tak tampan. Biasa. Perawakannya biasa saja. Tak kekar atau lainnya. Tinggi sekitar 163 cm. Samalah dengan rata-rata orang Indonesia. Punya pekerjaan. Meski belum setingkat manager, tapi cukuplah gajinya. Dia bekerja sebagai seorang IT di sebuah perusahaan media yang cukup kondang di Surabaya.
Dia mencoba menggali memori. Ternyata si laki yang beruntung banyak ditemukan. Bahkan di kantornya. Dia ingat resepsionis kantor yang cantik yang ditaksirnya. Dia akhirnya jadian dengan temannya yang menurutnya ‘kalah’ dengannya.
Kenapa bisa begini? Apa yang salah dengan dia? Apa Tuhan tidak adil? “Saya cowok yang jujur, alim dan bertanggung jawab. Saya juga punya kemauan kuat untuk menikah,” kata Agus. “Tapi kenapa tidak ada cewek yang mau dengan saya?”
~~~
Dia geber Kharismanya. Kalau tidak, tak akan bisa mencapai kantornya. Kantornya ada di dataran yang cukup tinggi. Kantornya sering mengatakan sebagai bukit. Berdiri di atas bukit. Jalan ke sana naik cukup curam.
Setelah ada gedung bertingkat 3 dengan menara yang tinggi, dia belok kanan. Dia terus menggeber motornya melewati terowongan. Ya, terowongan karena di atasnya ada gedung. Dia terus melaju mengarah kerindangan Mangga. Di pelataran sudah banyak parkir mobil dan motor. Maklum kantornya buka 24 jam, 365 hari setahun. Diparkirnya Kharisma di tempatnya.
Sekarang dia melangkah ke gedung megah bertingkat 3. Dari luar memang tak tampak. Tapi kalau sudah di dalam terlihat megahnya gedung itu.
Dia buka gerbang kaca yang ber-rayban. Di ujung kanan tampak piano yang besar yang terselimut. Dia membelok ke kiri, dan mulai mendaki tangga. Kantornya ada di lantai 3.
Setiba di meja, dinyalakan komputernya. Dan mulailah ritual pagi ini. Mengambil gelas, membuat kopi. Terus menyalakan radio. Setelah itu membuka Mozilla mengecek email sambil membuka Putty memantau server Linuxnya.
Pagi itu dia sibuk sampai lupa kejadian hari sebelumnya. Bahwa dia memaki dan mengutuk semua laki yang beruntung. Bahkan makiannya semakin nyaring setelah tiba di atas jembatan. Karena malah banyak pasangan yang pacaran di jembatan. Gila. Dilarang berhenti, malah pacaran di sini. Di seberang, Bangkalan, juga banyak yang pacaran.
Dia sudah lupa dengan itu semua. Dia sekarang asyik hanyut dengan dunianya. Pemrograman dan server Linux.
~~~
Sore itu dia mengetest terakhir website rumah sakit yang dibangunnya. “Siip. Semua oke. Tidak ada yang error. Semuanya berfungsi dengan normal. Website siap untuk dilaunching,” katanya dengan senang. “Sekarang saya bisa bersantai.”
Tiba-tiba dia ingat kejadian kemarinnya. “Pasti ada yang salah dengan diri saya. Kalau modal hancur-hancuran begitu, masih bisa menggaet cewek, kenapa aku malah nggak dapat? Harus ada solusi!” katanya bersemangat. Aku akan coba cari jurus jitunya di internet. Bukankah selama ini kalau ada masalah pemrograman, dia mencari solusinya di internet.
Tapi sebelum memulai, dia merenung sebenarnya persoalan apa yang menghambatnya. Modal fisik, okelah. Ya, meski tak tampan sekali. Rata-ratalah. Tongkrongan? Meski belum punya mobil, tapi sepeda motornya nggak jelek-jelek amat. Pekerjaan ada. Dia simpulkan tak ada masalah dengan modal.
Modal cukup. Buktinya dia cukup pede bercakap-cakap dengan wanita. Sekalipun baru dikenal.
“Hmm.. yang jadi masalah adalah saya tak tahu harus bagaimana mendekati wanita. Khususnya kalau itu adalah wanita idaman. Yakni wanita yang semampai, putih dengan rambut hitam yang panjang. Saya tiba-tiba bisu mendadak. Dan ketika wanita itu pergi, penyesalan demi penyesalan yang saya rasakan,” dia mulai mencoret-coret permasalahan.
“Selain itu saya tahu ide apa lagi yang harus dilakukan untuk lebih dekat lagi. Misal setelah kenal, hal apa yang harus saya lakukan untuk lebih dekat lagi. No idea. Stupid. Nggak kretif,” makinya. “Dasar kuper! Nggak ada yang ngajari sih,” dia terus memaki-maki dirinya sendiri.
“Oke kalau begitu. Saya tahu memulainya,” dia tersenyum licik seperti serigala menemukan muslihat menangkap kelinci. (TSA, 16/6/2009 menjelang tengah malam)

Dia matikan komputernya. Mengangkat tas menuju parkiran dengan ceria. Sekarang dia siap menatap masa depannya. “Cewek kembalilah ke pelukanku,” teriaknya keras menyanyikan lagu Samsons, ‘Seandainya’. (TSA, 16/6/2009 menjelang tengah malam) (Author : Myusuf)

Belajar Cinta Dari Film Drama (2)

Banyak pria ketika berhadapan dengan wanita menjadi nervous. Bingung. Salah tingkah, tak tahu harus bagaimana. Baru menyesal setelah wanitanya pergi. Berikut 22 rahasia memecahkan kebuntuan itu.
Tulisan ini didedikasikan untuk teman-teman IT yang selalu mencari solusi di internet
Dia gosok-gosokkan tangannya. Dia mengetik keyword di Google, “rahasia mendekati wanita”. Muncul beberapa entry result. Dibacanya beberapa result dari atas sambil mengklik dengan tetap menekan tombol shift. Muncul beberapa tab yang membuka website hasil pencarian.
“Sial, artikel sampah! Bikin artikel hanya untuk cari uang adsense saja. Nggak bermutu,” kesalnya mulai muncul lagi. Namun dia kemudian terpaku pada website dengan latar belakang biru tua dan muda. Dia memandang address-nya, www.enerlife.web.id.
Leadnya begitu menggoda. “Banyak pria ketika berhadapan dengan wanita menjadi nervous. Bingung. Salah tingkah, tak tahu harus bagaimana. Baru menyesal setelah wanitanya pergi. Berikut 22 rahasia memecahkan kebuntuan itu.” “Ya, itu guee banget,” katanya bersorak.
“Rahasia ini tak hanya khusus untuk pria yang mendambakan kekasih idaman,” kalimat selanjutnya. Dia sudah tak sabar membacanya. Dia baca cepat kalimat sesudahnya sampai berhenti di alinea baru.
“Setiap pria di seluruh dunia ini pasti mendambakan cewek idaman. Dari direktur sampai ‘batur’ (pembantu). Dari CEO sanpai OB (Office Boy). Dari profesi dokter sampai weker (penjaga/satpam). Dari yang tinggal di gedung pencakar langit di kota sampai di gubuk di desa. Semuanya pasti mendambakannya.”
Dia sekarang kunyah artikel itu dengan nikmat. Perlahan-lahan dibacanya. Kalau belum paham, dia baca ulang. Sekali-kali berhenti menghubungkan dengan pengalaman yang dirasakan. Tak terasa artikel yang panjang itu habis dikunyahnya. Terasa nikmat, seperti menemukan oase di padang tandus yang menahun tak hujan.
Sekarang dia paham apa yang harus dilakukan. Yakni menyapa. Ramah. Membuka percakapan dengan sapaan. Teknik sapaan sudah dijelaskan oleh artikel itu. Bahkan ada presentasi powerpoint dengan gambar-gambar wanita yang hot.
Yang menjadi masalah, setelah kenal terus apa lagi yang harus dilakukan. Artikel itu tak menjelaskan.
Diambilnya bolpen. Seakan dia menemukan kuncinya. Dia baca lagi coretannya, “Selain saya tidak punya ide, saya juga tak tahu apa yang harus dilakukan.” Dia mencoret-coret lagi. “Saya kurang peka dengan perasaan wanita. Kurang tanggap, begitu istilah Edie,” tulis Agus. Edie adalah pesaing yang mengalahkannya mendapatkan resiopnis idamannya.
Dia pernah ditegur oleh Edie. “Dia berani kok. Dan ketika saya mengatakan saya pamit pulang, dia bilang hati-hati,” bela Agus. Dia membela diri ketika ditanya mengapa teman penyiar wanita ditinggal pulang waktu larut malam. “Dia menunggu jemputan. Katanya ayahnya sedang dalam perjalanan,” terangnya.
“Gus, seharusnya kamu temani ngobrol sambil menunggu jemputan. Mungkin bisa kamu buatkan kopi dan tawarkan padanya. Kau bilang saja, masak airnya kebanyakan sehingga sayang kalau dibuang. Kalau kamu tawarkan kopi, pasti dia menolak. Wanita ya seperti itu. Kamu harus melayani. Menjadikan dia sebagai manusia yang istimewa. Ingat lagunya Ada Band, ‘Karena wanita (ingin dimengerti)’.” Sebagai insan yang bekerja di media radio, lagu memang jadi menu wajib. Diam.
“Demikian juga kalau kamu tanya, perlu ditemani? Pasti dia menolak. Gengsi. Wanita akan merasa malu, kalau meminta tolong pada cowok. Apalagi belum dikenal. Kamu harus tanggap. Jarang ada wanita yang berani meminta tolong secara terbuka dan terang-terangan,” jelas Edie dengan sabar.
Dia pernah tahu bagaimana Edie memaksakan diri menyeberang jalan. Padahal mereka lagi santai, makan siang di sebuah warung pinggir jalan. Dia ngotot, karena melihat seorang wanita, ibu-ibu, yang kesulitan menyeberang. Dituntunnya dan dibantu menyeberang.
Awalnya dia pikir Edie kenal dengan wanita itu. Tidak. Dia tak kenal sama dekali. Namun dia merasa perlu tanggap, care, ketika melihat seorang wanita kesusahan. Dan benar, wanita itu meski kesulitan menyeberang jalan yang ramai, dia tak akan minta tolong pada yang lain.
Sekarang dia mafhum. Hatinya mengeras. Ingin rasanya hatinya melumer, menjadi kapas. Begitu terenyuh. Langsung bisa merasakan perasaan orang lain. Bahkan tanpa menanyakannya. Kalau bisa dia gampang terharu. Gampang meneteskan air mata, sekalipun melihat film.
“Eh, Edie meski cowok suka melihat film drama,” dia jadi ingat kebiasaan temannya itu. Dia gampang terharu. Bahkan air matanya sering meleleh. “Dasar cengeng,” ejeknya suatu ketika. “Nggak pa-pa kamu ejek aku. Tapi sekali-kali kamu perlu melihat film drama. Supaya kamu belajar jalan pikirannya cewek. Belajar memahami perasaan. Apa yang menjadi perhatiannya. Wanita beda dengan pria,” katanya.
Dia jadi teringat artikel lain di website itu, www.enerlife.web.id. Dia coba search keyword “rahasia memahami & menaklukan wanita” dan menemukan artikel itu. Dia ingat lead artikel itu. “Meski sama-sama makhluk manusia, pria dan wanita mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Salah memahami bisa merusak hubungan yang terjadi. Lalu bagaimana resepnya supaya sukses menjalin hubungan?”
Dan dia suka dengan aline ini. “Banyak hubungan pria-wanita yang jadi ruwet. Hal ini karena pria tidak mengerti kenapa wanita seperti itu jalan pikirannya. Tidak bisa seperti pria. Dan wanita berharap pria-pria itu bisa mengerti jalan pikiran wanita.”
“Hmm,.. untuk menaklukkan musuh, kamu harus mengetahui musuhmu. Begitu kata panglima Tsun Tzu. Jadi kalau ingin mengalahkan dan menaklukkan wanita, kita harus mengerti isi hatinya,” dia coret lagi di catatannya.
“Dan untuk mengetahui cara paling gampang adalah dengan melihat film-film drama. Kan nggak mungkin tanya kepada wanitanya sendiri. Nggak lucu, ah. Dan tentu saja pengalaman seorang wanita tak banyak. Dengan melihat film drama akan menyelami banyak pengalaman wanita,” dia semakin bersemangat sekarang.
Dia lalu ingat film ‘50 First Dates’. Adam Sandler harus merancang strategi baru untuk menggaet ceweknya, Drew Barrymore. Setiap hari. Karena dia mengalami penyakit ingatan yang sehari. Melewati hari, ingatan sehari sebelumnya sudah lupa. Bahkan meski dia sudah berstatus istri.
“Strateginya itu lho yang segar. Unik dan kreatif. Selalu saja beda. Meski kadang berhasil, kadang tidak. Boleh juga idenya. Kapan-kapan diterapkan,” katanya sambil mengepalkan jari-jarinya.
Dia juga ingat bagaimana gaya Gerard Butler untuk menggaet cinta Hilary Swank dalam film ‘P.S. I Love You’. Padahal wanita itu baru dikenalnya di jalan. Agus sadar ternyata banyak ide dan pelajaran dari film-film drama.
“Sayangnya sampai detik ini, saya suka film action dan perang. Jadinya film ini yang lebih banyak saya tonton daripada film drama,” bisiknya. Sekarang dia sudah tahu solusinya.
Dia cari bolpen yang lain, meski di tangan kanannya masih memegang bolpen. Akhirnya dia menemukan bolpen dengan loreng merah. Dia tulis dengan huruf besar. Kali ini tak ditulis di kertas coretan sebelumnya. Tapi dia tulis di Post-It. Dan lalu digaris bawah merah dengan bolpen yang barusan dicari.
“HARUS LIHAT FILM DRAMA. 1 KALI SEHARI!” Post-It itu ditempel di bagian atas monitornya. Dia tersenyum puas. Dia toleh ke jam dinding. Pukul 5.15. “Terlambat 15 menit untuk pulang,” senyumnya.