Bersyukur Atas Karunia Kebersamaan

Banyak diantara kita terlalu sibuk dengan aktifitas sehari-hari. Aktifitas dan rutinitas ternyata sudah ‘membunuh’ perhatian dan momen penting yang harus dinikmati bersama orang yang kita kasihi.
Ada seorang pengusaha muda yang pagi itu terburu-buru berangkat kantor karena ia bangun rada kesiangan. Sementara pagi itu ia ada meeting dengan rekan bisnisnya. Karena terburu-buru, ia tidak sempat menikmati sarapan pagi buatan isterinya. Ia lalu memutuskan untuk mampir ke sebuah toko untuk membeli roti sebagai ganti sarapan pagi. Pikirnya, “Nanti roti ini dimakan di kantor saja”.
Ketika ia sedang memilih roti yang hendak dibelinya, matanya tertarik mengamati seorang anak kecil berusia kira-kira sepuluh tahun yang sedang memilih bunga di toko sebelah. Anak kecil ini terlihat sedang tawar menawar harga bunga dengan pelayan toko tersebut.
“Mbak, harga bunga ini berapa?” tanyanya kepada pelayan toko.
“Lima puluh ribu rupiah”, jawab sang pelayan.
Kemudian ia memilih bunga yang lain dan bertanya kembali,
“Kalau bunga yang ini berapa?”.
“Ini lebih mahal lagi, seratus lima puluh ribu rupiah!” jawab sang pelayan.
“Kalau yang ini berapa?” tanyanya sambil menunjukkan bunga yang lebih bagus lagi.
“Ini harganya dua ratus lima puluh ribu, nak!” jawab sang pelayan.
Anak ini terlihat bingung karena harga bunganya bertambah tinggi, sementara ia tidak menyadari bahwa bunga yang ia tunjuk itu bunga yang paling bagus. Dengan sedih ia bertanya, “Adakah bunga yang harganya lima ribu?” .
Anak ini ternyata hanya memiliki uang lima ribu rupiah walau keinginannya untuk mendapatkan bunga itu sangat besar. Belum sempat pelayan toko itu menjawab, pengusaha muda ini segera bertanya kepada sang anak, “Nak, kamu mau beli bunga buat siapa?”
Kemudian anak ini menjawab, “Saya mau beli bunga buat mama, karena hari ini mama ulang tahun!”
Pengusaha muda ini tersentak, dalam hatinya ia berkata, “Wah… mati aku, aku lupa!
Hari ini isteriku ulang tahun. Aku belum mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Kalau sampai aku lupa, ia bisa marah!”
Segera ia berkata kepada pelayan toko, “Mbak, saya beli bunga ini. Saya beli 2 ikat. Satunya buat anak ini. Tolong nanti antar bunga ini ke alamat rumah saya,” katanya sambil memberikan kartu namanya. Kemudian pengusaha muda itu memberikan bunga tersebut kepada sang anak dan mengucapkan terima kasih sudah mengingatkannya bahwa hari ini ternyata isterinya juga berulang tahun. Anak itu kemudian pergi.
Pengusaha ini segera bergegas ke mobilnya dan melanjutkan perjalanan ke kantor. Ketika ia sedang mengendarai mobil, ia melewati anak kecil tadi sedang berjalan. Iapun berhenti dan bertanya apakah ia satu jurusan dengannya. Anak kecil itu mengiyakan dan kemudian masuk ke dalam mobilnya. Sampai di suatu tempat yang agak sepi anak ini minta turun. Pengusaha muda tersebut heran melihat anak kecil ini masuk melewati sebuah lorong kecil.
Karena penasaran, ia mengikuti sang anak dari belakang. Betapa terkejutnya ia ketika melihat anak kecil ini menaruh bunganya di sebuah gundukan tanah kuning yang masih basah.
Kemudian ia bertanya, “Nak, ini kuburan siapa?” Anak kecil itu kemudian menjawab, “Om, hari ini mama ulang tahun. Tetapi sayang, mama baru saja meninggal dua hari yang lalu. Oleh sebab itu saya datang ke tempat ini untuk membawakan mama bunga dan mengucapkan selamat ulang tahun.” Pengusaha muda begitu tersentak dengan perkataan anak ini.
“Apakah isteriku masih hidup saat ini? ” tanyanya dalam hati.
Segeralah ia berlari masuk ke mobil, mengendarainya dengan kecepatan tinggi dan menuju ke toko tadi. Dengan terengah-engah ia berkata kepada pelayan toko, “Mana bunga yang tadi saya beli? Bunganya tidak usah dikirim, biar saya saja yang langsung memberikannya ke tangan isteri saya. ”
Dengan cepat ia menyambar bunga tersebut dan menyetir pulang. Sampai di rumah, ia segera berlari mendapatkan isterinya. Sambil memberikan bunga ia berkata, ” Isteriku, selamat ulang tahun”. Kemudian ia mencium dan memeluk isterinya kuat-kuat sambil mengucap syukur kepada Tuhan. Sambil menangis ia berkata, “Terima kasih, Tuhan. Engkau masih memberikan kesempatan kedua kepadaku.”
Banyak diantara kita terlalu sibuk dengan aktifitas sehari-hari. Aktifitas dan rutinitas ternyata sudah ‘membunuh’ perhatian dan momen-momen penting yang harus dinikmati bersama orang-orang yang kita kasihi; orang tua, suami, isteri, anak-anak, dan saudara-saudara kita. Demi mengejar karier, uang dan jabatan bahkan pelayanan banyak orang melupakan keluarga.
Seorang businessman hanya berpikir bahwa memenuhi kebutuhan materi isteri dan anak-anak sudah membuatnya merasa menjadi ayah yang baik. Seorang pembicara motivasi berpikir bahwa dengan sibuk dalam memberikan motivasi dan dikenal di mana-mana sudah membuatnya merasa menjadi orang yang benar di dalam keluarganya.
Kita tidak sadar, kita sudah salah jika berpikir demikian. Hari ini, kalau kita masih diberi kesempatan untuk hidup semua hanyalah kasih karunia Tuhan. Oleh sebab itu, jangan tunggu sampai besok untuk menunjukkan kasih dan sayang kita kepada orang-orang di sekitar kita, terutama orang-orang yang paling dekat dengan kita.
Jangan tunggu mereka mati kita baru menyadarinya. Jangan tunggu sampai besok!
Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hari esok. Jika kita masih hidup pada hari ini berarti ini kesempatan kedua buat kita. Ambil kesempatan kedua yang Tuhan anugrahkan buat kita hari ini. (Author : Myusuf)

Batu Besar

Suatu hari seorang dosen sedang memberi kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswa MBA. Dengan penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata, "Okay, sekarang waktunya untuk quiz." Kemudian ia mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi ember tersebut dengan batu sebesar sekepalan tangan. Ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember. Ia bertanya pada kelas, "Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?"
Semua mahasiswa serentak berkata, "Ya!"
Dosen bertanya kembali, "Sungguhkah demikian?" Kemudian, dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil. Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu. Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, "Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?"

Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab, "Mungkin tidak."

"Bagus sekali," sahut dosen. Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, "Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?"

"Belum!" sahut seluruh kelas.

Sekali lagi ia berkata, "Bagus. Bagus sekali." Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember. Lalu ia menoleh ke kelas dan bertanya, "Tahukah kalian apa maksud illustrasi ini?"

Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, "Maksudnya adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya."

"Oh, bukan," sahut dosen, "Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi mengajarkan pada kita bahwa: bila anda tidak memasukkan "batu besar"
terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya." 

Apa yang dimaksud dengan "batu besar" dalam hidup anda? Anak-anak anda; Pasangan anda; Pendidikan anda; Hal-hal yang penting dalam hidup anda; Mengajarkan sesuatu pada orang lain; Melakukan pekerjaan yang kau cintai; Waktu untuk diri sendiri; Kesehatan anda; Teman anda; atau semua yang berharga.

Ingatlah untuk selalu memasukkan "Batu Besar" pertama kali atau anda akan kehilangan semuanya. Bila anda mengisinya dengan hal-hal kecil (semacam kerikil dan pasir) maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian anda tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya anda perlukan untuk hal-hal besar dan penting.

Oleh karena itu, setiap pagi atau malam, ketika akan merenungkan cerita pendek ini, tanyalah pada diri anda sendiri: "Apakah "Batu Besar" dalam
hidup saya?" Lalu kerjakan itu pertama kali."

Cerita Tentang Suami Istri yang Baru Menikah

Seorang pria dan kekasihnya menikah 
dan acaranya pernikahannya sungguh megah. 
Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan 
dan menikmati hari yang berbahagia tersebut. 
Suatu acara yang luar biasa mengesankan. 

Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya 
dan pengantin pria dalam tuxedo hitam yang gagah. 
Setiap pasang mata yang memandang setuju mengatakan 
bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai. 

Beberapa bulan kemudian, 
sang istri berkata kepada suaminya, 
"Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah 
tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan," 
katanya sambil menyodorkan majalah tersebut. 
"Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita. 

Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut 
dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia" 
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya 
yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya 
mencatat hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk kebaikkan mereka bersama. 

Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar 
dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing. 
Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya. 
"Aku akan mulai duluan ya", kata sang istri. 
Ia lalu mengeluarkan daftarnya. 
Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman. 

Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak dia sukai dari suaminya, 
ia memperhatikan bahwa airmata suaminya mulai mengalir. 
"Maaf, apakah aku harus berhenti?" tanyanya. 
"Oh tidak, lanjutkan" jawab suaminya. 

Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang terdaftar, 
lalu kembali melipat kertasnya dengan manis diatas meja 
dan berkata dengan bahagia 
"Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu". 

Dengan suara perlahan suaminya berkata 
"Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku. 
Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, 
dan aku tidak ingin merubahmu. 
Engkau adalah dirimu sendiri. 
Engkau cantik dan baik bagiku. 
Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang" 

Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta 
serta isi hati suaminya. 
Bahwa suaminya menerimanya apa adanya, 
Ia menunduk dan menangis. (Author : Unknow)

Dua Buah Pesan dari Seorang Ayah yang Menjelang Ajalnya

Ada seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA hal kepada 2 anak laki-lakinya 

- Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yg berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.

Pada suatu hari sang Ibu menanyakan hal itu kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :

"Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih".
"Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak".

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang sama.
Jawab anak sulung :

"Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan sehingga dengan demikian modal
tidak susut".

"Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup."

"Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama".

MORAL CERITA :
Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat di tanggapi dengan presepsi yang berbeda. Jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita... pilihan ada di tangan anda.

'Berusahalah melakukan hal biasa dengan cara yang luar biasa' (Author : Unknow)

Kapan Terakhir Sapa Ayah dan Ibu Anda ?

Sobat, pernahkah dirimu merasakan hal seperti ini?

Rasa bersalah yang teramat sangat. Jauh dari orang tua yang sekarang hanya tinggal berdua. Tak ada lagi putera-puteri yang tersisa. Semuanya berada dalam radius yang sangat jauh, menempuh episode kehidupan masing-masing.

Betapa sepinya mereka.

Sewaktu bayi, entah berapa kali kita mengganggu tidur nyenyak ayah yang mungkin sangat kelelahan setelah seharian bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita. Mungkin juga kotoran kita ikut tertelan ibu ketika kita buang ‘pup’ di saat ibu sedang makan.

Ibu juga tidak peduli ketika teman-temannya marah karena membatalkan acara yang sangat penting karena tiba-tiba anaknya sakit. Kekhawatiran demi kekhawatiran tiada pernah henti mengunjungi mereka setiap kali kita melangkah.

Beranjak dewasa, betapa tabahnya ayah dan ibu menerima pembangkangan demi pembangkangan yang kita lakukan. Mereka hanya bisa mengelus dada karena teman-teman di luar sana lebih berarti dari mereka. Jarang sekali sekali kita mau menyisakan waktu untuk menyelami mimik wajah mereka yang penuh kecemasan ketika kita pulang telat, karena ayah dan ibu selalu menyambut kita dengan senyum.

Sobat, pernahkah dirimu bangun tengah malam dan mendengar tangisan ibu dalam doanya seperti yang pernah aku dengar? Tangisan dan doa itulah yang mengantar kesuksesan kita. Pernahkah kita tahu ayah dan ibu terluka dan mengiba kepada Tuhan agar kita jangan dilaknat. Agar Tuhan mau mengampuni kita dan memberikan kehidupan terbaik untuk kita?

Pernahkah kita berterimakasih ketika kita dapati ayah dan ibu berbicara bisik-bisik karena takut membangunkan kita yang tertidur kelelahan?

Pernahkah kita menghargai patah demi patah kata yang mereka susun sebaik mungkin untuk meminta maaf karena mereka tidak sengaja memecahkan kristal kecil hadiah ulang tahun dari teman kita?

Pernahkah kita menyesal karena lupa menyertakan mereka di dalam doa?

Ah, Sobat, betapa tak sebanding cinta dan pengorbanan mereka dengan balasan kasih sayang yang kita berikan. Setelah dewasa dan bisa ‘menghidupi’ diri sendiri, kita masih bisa melenggang ringan meninggalkan mereka (mereka ikhlas asal kita bahagia).

Lalu?

Mungkinkah kita bisa seperti Ismail yang merelakan dirinya disembelih ayah kandung demi menuruti perintah Tuhan? Atau seperti Musa yang dihanyutkan ketika bayi?

Ternyata kita masih sangat jauh.. Lalu bakti seperti apakah yang bisa kita persembahkan?

Sobat, masih banyak waktu untuk membahagiakan mereka. Hal yang terkecil yang bisa kita lakukan adalah: tak mengatakan ‘tidak’ ketika mereka menyuruh atau menginginkan sesuatu (tentu saja bukan yang bertentangan dengan agama).

Segeralah silatutahmi. Salami dan cium tangan mereka. Kedatangan kita tak akan bisa dikalahkan 1000 sms yang kita kirim untuk bertanya kabar mereka. Namun kalau tak memungkinkan telpon dengan nada ceria untuk menyapa dan menanyakan kabarnya.

Bahagiakan ayah, bahagiakan ibu! Mulai dari sekarang, selagi Tuhan masih memberi kesempatan. Walau takkan pernah sebanding, doa-doa kitalah yang mereka harapkan menemani di peristirahatan terakhir nanti.

Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami.Kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sedari kecil.Jadikan kami termasuk anak-anak yang saleh ya Tuhanhingga doa-doa kami termasuk doa-doa yang berkenan bagi Engkau.Amin.

~~~
Author: Unknow.

Lima Menit Saja, untuk memperbaiki sikap..

Seorang ibu duduk di samping seorang pria di bangku dekat Taman-Main di West Coast Park pada suatu minggu pagi yang indah cerah.

"Tuh.., itu putraku yang di situ," katanya, sambil menunjuk ke arah seorang anak kecil dalam T-shirt merah yang sedang meluncur turun dipelorotan.

Mata ibu itu berbinar, bangga.

"Wah, bagus sekali bocah itu," kata bapak di sebelahnya.

"Lihat anak yangsedang main ayunan di bandulan pakai T-shirt biru itu? Dia anakku," sambungnya, memperkenalkan.

Lalu, sambil melihat arloji, ia memanggil putranya.

"Ayo Jack, gimana kalau kita sekarang pulang?"

Jack, bocah kecil itu, setengah memelas, berkata,

"Kalau lima menit lagi,boleh ya, Yahhh? Sebentar lagi Ayah, boleh kan? Cuma tambah lima menit kok,yaaa...?"

Pria itu mengangguk dan Jack meneruskan main ayunan untuk memuaskan hatinya. Menit menit berlalu, sang ayah berdiri, memanggil anaknya lagi.

"Ayo, ayo, sudah waktunya berangkat?"

Lagi-lagi Jack memohon, "Ayah, lima menit lagilah. Cuma lima menit tok, ya? Boleh ya, Yah?" pintanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Pria itu bersenyum dan berkata,

"OK-lah, iyalah..."

"Wah, bapak pasti seorang ayah yang sabar," ibu yang di sampingnya, dan melihat adegan itu, tersenyum senang dengan sikap lelaki itu.

Pria itu membalas senyum, lalu berkata,

"Putraku yang lebih tua, John, tahun lalu terbunuh selagi bersepeda di dekat sini, oleh sopir yang mabuk. Tahu tidak, aku tak pernah memberikan cukup waktu untuk bersama John. Sekarang apa pun ingin kuberikan demi Jack, asal saja saya bisa bersamanya biar pun hanya untuk lima menit lagi. Saya bernazar tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi terhadap Jack. Ia pikir, ia dapat lima menit ekstra tambahan untuk berayun, untuk terus bermain. Padahal, sebenarnya, sayalah yang memperoleh tambahan lima menit memandangi dia bermain, menikmati kebersamaan bersama dia, menikmati tawa renyah-bahagianya...."

Hidup ini bukanlah suatu lomba. Hidup ialah masalah membuat prioritas.Prioritas apa yang Anda miliki saat ini? Berikanlah pada seseorang yang kaukasihi, lima menit saja dari waktumu, dan engkau pastilah tidak akan menyesal selamanya.

Mandikan Aku, bunda..

Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di University Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah.

Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai Staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.

Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi.

Saya pernah bertanya, "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal?"

Dengan sigap Rani menjawab, "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok."

Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya.

"Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya.

Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya.

Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitter-nya. "Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitter-nya.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. "Bunda, mandikan Alif?" begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.

Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency".

Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya. Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku.

"Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif, " ucapnya lirih, namun teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, "Ini sudah takdir, iya kan? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan?"

Saya diam saja mendengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. "Aku ibunya!" serunya kemudian, "Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah...

Sajak Ibu

Sebuah sajak penghormatan buat Ibu dari Wiji Thukul, peraih Yap Thiam Hien Award 2002. Sebuah renungan yang mengingatkan kapan terakhir kita memberi hormat, berterima kasih dan membalas budi padanya.

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar

ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan dengan kasih sayang
ketabahan ibuku mengubah rasa sayur murah jadi sedap

ibu menangis ketika aku mendapat susah
ibu menangis ketika aku bahagia
ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
ibu menangis ketika adikku keluar penjara

ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan

dengan kebajikan
ibu mengenalkan aku kepada tuhan

solo, 1986

~~~
Sumber: ‘Sajak Ibu’ ditulis oleh Wiji Thukul, peraih Yap Thiam Hien Award 2002