Mengapa Menolak Yang Terbaik Untuk Anda

Ah, betapa sederhananya. Bila kita mengaku berkuasa atas apa yang kita “miliki”, kita tercebur dalam lautan ilusi yang menenggelamkan saat apa yang kita “miliki” hanyut terdera ombak.
Di manakah kita bisa temukan keindahan hidup?Di sebuah sudut alun-alun kota ini, sepasang suami istri pedagang kaki lima meringkuk dalam tenda dikelilingi oleh beberapa anaknya.
Hujan deras turun sejak petang. Penganan yang dipajang sudah dingin dari tadi. Tapi mereka tetap saling bercanda sambil membiarkan suara radio kecil meramaikan suasana dengan sedikit gemerisik.
“Kau pasti rugi, pak?” “Ya, tidak apa-apa, semoga besok cuaca terang,” demikian jawabnya. “Kami ini pedagang kecil, mas. Tak punya apa-apa. Jadi kalau toh rugi, kami tak kehilangan apa-apa. Orang yang takut kehilangan biasanya mereka yang merasa memiliki apa yang diusahakannya.
“Padahal, siapa yang bisa menjamin malam ini tidak hujan? Betapa hebatnya pemilik hujan itu sehingga bisa membuat warung kami tak ada pengunjung? Bahkan kami sendiri tidak kuasa atas perniagaan ini.”
Ah, betapa sederhananya. Bila kita mengaku berkuasa atas apa yang kita “miliki”, kita tercebur dalam lautan ilusi yang menenggelamkan saat apa yang kita “miliki” hanyut terdera ombak. “Memiliki” adalah rantai besi yang mengikat kita pada batu karang dasar laut. Menyadari ketidakkuasaan diri di hadapan semesta raya adalah kunci pembuka rantai itu.
~~~
Hidup ini terkadang aneh. Kalau anda menolak untuk menerima bukan yang terbaik, seringkali anda justru akan menerimanya. (Somerset Maughan) Author: myusuf 

Penjual Ikan dan Papan Pengumuman



Seseorang mulai berjualan ikan segar di pasar. Ia memasang papan pengumuman bertuliskan: "DI SINI JUAL IKAN SEGAR."

Tidak lama kemudian datang seorang pengunjung yang menanyakan tulisannya, "Mengapa kau tuliskan kata 'DI SINI'? Bukankah orang sudah tahu kalau kau berjualan di sini, bukan di sana?"

"Benar juga," pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata 'DI SINI' dan tinggallah "JUAL IKAN SEGAR".

Tidak lama kemudian datang pengunjung kedua yang juga menanyakan tulisannya, "Mengapa kau pakai 'SEGAR'? Bukankah semua orang sudah tahu kalau yang kau jual adalah ikan segar, bukan ikan busuk?"

"Benar juga," pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata 'SEGAR' dan tinggallah "JUAL IKAN".

Tidak lama kemudian datang pengunjung ketiga yang juga menanyakan tulisannya, "Mengapa kau tulis kata 'JUAL'? Bukankah semua orang sudah tahu
kalau ikan ini dijual, bukan dipamerkan?"

"Benar juga," pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata 'JUAL' dan tinggallah "IKAN".

Tidak lama kemudian datang pengunjung keempat yang juga menanyakan tulisannya, "Mengapa kau tulis kata 'IKAN'? Bukankah semua orang sudah tahu
kalau ini ikan, bukan daging?"

"Benar juga," pikir si penjual ikan, lalu diturunkannya papan pengumuman itu.

Pojok Renungan: Bila kita ingin memuaskan semua orang, kita takkan mendapatkan apa-apa. (diadaptasi dari: unknown)

Kearifan Menilai Seseorang

Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses.
Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi yang tersohor bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya, “Guru, saya belum paham mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman ini berpakaian necis amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk tujuan banyak hal lain.”
Sang sufi hanya tersenyum, ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cobalah, bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas.”
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.” Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak.
Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun yang berani menawar lebih dari satu keping perak.” Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga.
Dengarkan saja, bagaimana ia memberikan penilaian.” Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”.
Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas.
Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas. Author: M.Yusuf

Menabur Benih Kebahagiaan

Dalam hidup ini bahagia tidaknya kita, kita sendiri yang akan menentukan. Hanya karena kebodohan, kita dibayangi oleh rasa kekhawatiran dan takut yang sebenarnya tak perlu ada, kita tidak bahagia.
Berhati lurus adalah menjaga hati dan pikiran agar tidak mudah goyah oleh godaan. Bagi yang berkepribadian lemah dan berjiwa rapuh akan mudah tergoda pada kesenangan duniawi.
Mata kita hanya melihat benda-benda yang indah, telinga kita hanya akan mendengar suara yang merdu, dan lidah hanya mau mencicipi makanan yang lezat. Tubuh menjadi manja, dan pikiran mengembara ke mana-mana tanpa dapat dikendalikan.
Orang bijak mengatakan bahwa perang yang tidak ada habisnya adalah perang melawan diri sendiri. Musuh yang paling sulit ditaklukkan adalah diri sendiri.
Hati yang bercabang ibarat kuda yang lepas dari kendali.
Karena itu kita harus menjaga keseimbangan hati dan pikiran kita. Hindari pikiran yang menyesatkan, karena nantinya akan menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri.
Bila kita ingin menuai benih kebahagiaan, taburlah benih kebaikan. Kita mulai dengan menanam bibit-bibit kebaikan, mencabut rumput-rumput ketamakan, kebencian, iri hati, mengairinya dengan ketabahan dan kemurahan hati, serta menyuburkannya dengan memberi pupuk perilaku yang berbudi.
Dengan begitu, sudah sepantasnya kita menikmati hasil panen yang memuaskan.
Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun. (Author:Myusuf)